
Akhir-akhir ini, Bencana kekeringan
melanda hampir semua wilayah di Indonesia. Berbagai daerah sudah
mengalami paceklik air. Air seperti sudah menjadi barang mahal.
Tampungan-tampungan air menyusut. Barbagai embung dan waduk berkurang
drastis debit airnya. Warga terlihat mengantre air demi keperluan mandi,
mencuci, dan minum. Hewan-hewan ternak sudah mulai kehausan dan petani
kebingungan dari mana ia mengairi sawah dan ladangnya.
Seperti banyak diberitakan di berbagai
media massa bahwa fenomena kekeringan ini disebabkan oleh sebuah anomali
iklim yang disebut juga El-Nino; Sebuah fenomena perubahan pada
peredaran masa udara yang berdampak pada berkurangnya pembentukan
awan-awan hujan di Indonesia. Fenomena ini lah yang mengakibatkan
terjadinya musim kering yang berkepanjangan dengan ditandai sedikitnya
terbentuknya awan.BMKG dan berbagai lembaga metereologi di dunia
menyatakan bahwa saat ini sedang terjadi EL-Nino moderat menuju kuat
dan diprediksi akan berlangsung hingga awal tahun 2016. EL-Nino 2015
diperkirakan akan sekuat bahkan lebih kuat dibandingkan dengan fenomena
serupa yang terjadi pada tahun 1997, hanya saja karena faktor pengendali
cuaca lain yaitu Indian Ocean Dipole (IOD) masih dalam kondisi netral,
maka dampaknya bagi Indonesia diperkirakan tidak akan separah 1997.
Salah satu dampak buruk El-Nino yang
paling besar terjadi pada sektor pertanian. Seperti di kutip dari
website Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kekeringan telah
melanda 16 provinsi meliputi 102 kabupaten/kota dan 721 kecamatan di
Indonesia hingga akhir Juli 2015. Lahan pertanian seluas 111 ribu hektar
juga mengalami kekeringan. Ambarwati (2008) mengungkapkan bahwa dampak
El-Ninootomatis akan menurunkan produksi pertanian nasional.
Fenomena global seperti ini hampir
berpengaruh terhadap sendi-sendi ekonomi lapisan masyarakat. Dampak
kekeringan sudah sangat kita rasakan. Boleh dikatakan Elnino ini sangat
berpengaruh terhadap ketahanan pangan Indonesia. Musibah kegagalan
panen sudah terjadi dibeberapa wilayah dan akan terus mengancam ratusan
hektare sawah padi petani lainnya.
Biasanya, Salah satu faktor pembatas
klasik produksi pertanian adalah adanya hama dan penyakit. Pengaruh
buruk perkembangan hama dan penyakit sangat dipengaruhi dinamika iklim.
Pada kondisi iklim ekstrim, hama penyakit tanaman pertanian bisa jadi
akan terjadi outbreak (ledakan hama atau penyakit) atau justru
akan berkurang serangannya. Secara umum, pada kondisi suhu yang tinggi
seperti kondisi saat ini (El Nino), akan memengaruhi meningkatnya
serangan hama, sedangkan pada kelembaban yang tinggi seperti pada musim
hujan lebat (La Nina), perkembangan dan persebaran penyakit-penyakit
tanaman akan jauh lebih cepat dibandingkan kondisi iklim
normal.
Sebenarnya kita tidak bisa mengataka bahwa
fenomena El Nino berakibat munculnya ledakan serangan hama pada semua
sektor pertanian. Memang secara bioekologi, hama akan berkembang baik
pada kondisi optimum, yakni pada kondisi temperatur yang hangat.
Termperatur merupakan satu dari tiga komponen epidemiologi penyakit,
yakni faktor inang (tanaman), hama, dan lingkungan.
Pada sektor pertanian tanaman perkebunan,
seperti : perkebunan kelapa sawit, tebu, kakao, teh, kopi dan lainnya,
kondisi cuaca kering seperti sekarang ini berdampak meningkatnya
serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) . Dilaporkan hama penghisap
daun teh (Helopeltis sp), penggulung daun teh (Homona sp), ulat api pada kelapa sawit (Setora sp), ulat pemakan daun kelapa sawit (Setothosa asignadanMahasena corbetii),
tikus, dan hama perkebunan lainnya cenderung merusak pada suhuhangat
sampai panas. Kondisi ini disebabkan karena tersedianya makanan bagi OPT
dan optimumnya temperatur lingkungan. Temperatur yang hangat akan
meningkatkan keperidian telur hama. Selain hama, penyakit tanaman
perkebunan juga berkembang dengan cukup pesat meskipun secara
penularannya tidak seganas pada musim-musim penghujan.
Ini berbeda dengan jenis tanaman semusim
seperti tanaman-tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, kacang tanah dan
lainnya). Tipikal tanaman ini yang hanya memiliki periode masa hidup
yang singkat (kurang lebih tiga bulan) memiliki pola serangan OPT yang
berbeda dengan tanaman-tanaman perkebunan. Normalnya, perkembangan dan
persebaran OPT cenderung sangat cepat karena mengikuti siklus hidup
inangnya. Pada kondisi tanaman yang seragam (monoculture) dan
secara luas, OPT, baik hama maupun penyakit akan berkembang dengan
sangat cepat, sedangkan pada musim pasca panen, populasi OPT akan
berkurang secara drastis. Selanjutnya OPT akan berada pada inang
alternatif atau inang sementara seperti gulma dan lainnya, dormansi,
atau terbawa biji. Pada musim tanam berikutnya, keberadaan sisa inokulum
OPT akan kembali menginvasi tanaman baru dan terus berkembang dengan
pesat mengikuti keberadaan tanaman. Proses infeksi patogen tanaman
maupun hama biasanya dimulai sejak dilakukannya persemaian.
Kondisi iklim kering seperti sekarang ini
akan membuat petani enggan menanam-tanaman semusim. Keterbatasan air
irigasi dan tingginya biaya usahatani menjadi faktor utama. Petani akan
lebih suka beraktivitas lain dibandingkan menghijaukan lahannya.
Biasanya para petani yang memiliki hewan ternak akan lebih fokus
menggembalakannya. Namun bagi para petani yang tidak punya, biasanya
akan menganggur atau mencari aktivitas lainnya.
Lahan akan dibiarkan bera. Bera merupakan
kegiatan tidak menanami lahan atau sawah selama beberapa waktu. Kondisi
kekeringan hebat seperti sekarang ini sangat memungkinkan jutaan hektare
sawah irigasi akan diberakan. Biasanya pemberaan dilakukan selama
semusim (tiga bulan). Meski terlihat merugikan-karena produksi akan
menurun, aktivitas pemberaan memiliki dampak positif bagi sektor
pertanian. Kondisi bera pada jenis pertanian tanaman semusim akan mampu
menurunkan populasi OPT. Ini disebabkan terputusnya siklus perkembangan
OPT. Tidak tersedianya inang membuat populasi hama dan penyakit
mengalami kematian secara besar-besaran.
Silus hidup hama penyakit tanaman semusim
biasanya sangatlah singkat. Biasanya hama dan penyakit jenis ini
memiliki lama hidup beberapa hari sampai beberapa bulan saja. Wereng
coklat (Nilaparvata lugens) misalnya, memiliki panjang usia
hidup hanya sebulan, tetapi setiap ekor betina mampu menghasilkan
270-902 butir sekali bertelur (Nurbaeti et al 2010). Kondisi
ini akan mengkhawatirkan jika pada tiga musim tanam (satu tahun), lahan
selalu ditanami dengan tanaman budidaya. Dengan rentang waktu jarak
antara panen dan tanam berikutnya yang singkat (dua minggu sampai dengan
satu bulan), memungkinkan populasi OPT yang tersisa, baik tersisa dalam
bekas panen maupun yang berada di gulma-gulma akan menemukan inangnya
kembali dan berkembang dengan pesat pada musim tanam berikutnya.
Kondisi inilah yang membuat aktivitas
memberakanlahan sawah berdampak baik. kondisi bera akan memutus rantai
siklus sisa OPT sisa musim sebelumnya. Selayaknya organisme hidup, OPT
tidak akan mampu bertahan hidup lebih lama tanpa adanya makanan (inang).
Sehingga diharapkan pada musim tanam berikutnya, jumlah inokulum OPT
sisa musim tanam sebelum bera akan sangat berkurang dan akan menurunkan
intensitas serangan hama penyakit pada musim tanam selepas pemberaaan.
Mengingat, upaya pengendalian hama penyakit pertanian memerlukan biaya
yang relatif besar. Dari segi inilah, fenomena El Nino memiliki dampak
positif terhadap pertanian di Indonesia.
Hasan Bisri (KMNU IPB)
Mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB
0 komentar:
Posting Komentar